JAKARTA, KOMPAS.com — Anak-anak miskin di perkotaan sering kali diremehkan di sekolah dan di lingkungan sekitar. Semestinya kesempatan mereka untuk tampil di depan umum harus diperbesar untuk memperlihatkan kreativitasnya agar mereka lebih termotivasi, terinspirasi, dan lebih berani lagi mengejar mimpi-mimpi mereka.
Demikian diungkapkan Marryah Tinambunan, Operational Manager Indonesian Street Children Organization (ISCO) Foundation di Jakarta, Senin (30/1/2011), terkait pendampingan pendidikan ribuan anak miskin kota untuk mencegah mereka menjadi anak jalanan. Selama 11 tahun ISCO melakukan pendampingan tersebut terhadap sekitar 2.201 anak miskin perkotaan di wilayah Jakarta, Depok, Surabaya, dan Medan agar tidak menjadi anak jalanan atau pekerja anak di jalanan.
Marryah mengatakan, arus modernisasi di perkotaan membuat kebudayaan Indonesia yang sangat beraneka ragam dan begitu indah untuk dinikmati sering terlupakan, apalagi dengan semakin berkurangnya kegiatan anak muda terutama di perkotaan dalam mengembangkan seni tradisi Indonesia. Mereka juga tidak tertarik untuk mendalami aneka kebudayaan Nusantara, seperti tari dan musik tradisional Indonesia.
Merespons kondisi itulah, ISCO melibatkan 300 anak miskin kota dalam sebuah pergelaran seni budaya sebagai bentuk kepedulian untuk mengajak anak dan kaum muda guna menghidupkan kembali budaya Indonesia. Tema pergelaran seni budaya ini adalah "Bersatu dalam Keberagaman".
"Anak-anak miskin kota yang tinggal di wilayah kumuh Jakarta mewujudkan hak partisipasinya dengan ikut melestarikan kebudayaan Indonesia," kata Marryah di sela-sela acara pentas budaya tersebut di Jakarta, Minggu (30/1/2011).
Hak partisipasi anak-anak tersebut, lanjut dia, diwujudkan dalam sebuah pertunjukan budaya melalui tari-tarian tradisional, lagu-lagu daerah, drama tradisional, dan permainan musik angklung. Ia menambahkan, hal itu sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Hak Anak (KHA) bahwa dalam tumbuh kembang mereka, partisipasi dalam melestarikan budaya Indonesia berarti memenuhi hak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya sesuai pasal 12-15 KHA.
"Dalam konvensi internasional itu, juga dikatakan bahwa di negara tempat terdapat berbagai macam budaya dan bangsa, anak-anak berhak menikmati kebudayaannya sendiri," paparnya.
Negara juga harus mengakui hak anak untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan budaya, seni, dan juga mempromosikan hak anak untuk sepenuhnya berpartisipasi. Dengan kata lain, anak-anak yang tinggal di dalam budaya yang majemuk berhak melakukan toleransi dengan budaya lain.
Sejak berdiri pada Mei 1999, ISCO awalnya mensponsori 60 anak di dua area kumuh Jakarta. Terhitung sampai tahun ini, ISCO telah menjangkau 2.201 anak miskin di 29 area di Jakarta, Depok, Surabaya, dan Medan.
Lima program kerja utamanya adalah memberikan pendidikan gratis prasekolah hingga SMA, memberikan bantuan pendidikan/sekolah anak, membentuk dan mengelola sanggar kegiatan anak (SKA), memberi nutrisi tambahan dan kesehatan, serta memberikan perlindungan dan advokasi hak pendidikan anak.
"Seluruh anak dampingan kami memiliki akvitas sehari-hari di SKA. Ini untuk meminimkan waktu anak turun ke jalan atau mencegah mereka menjadi anak jalanan, pekerja anak," ujar Marryah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar